TpzoBSM0TUOlTpAoBSW9GUC9GA==

Hidayat Nur Wahid Tegaskan Sikap Indonesia soal Palestina Tak Bisa Diubah, Selaras Amanat Pembukaan UUD 1945

Hidayat Nur Wahid Tegaskan Sikap Indonesia soal Palestina Tak Bisa Diubah, Selaras Amanat Pembukaan UUD 1945

Mediatama Prakarsa, Jakarta - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Dr. KH. M. Hidayat Nur Wahid (HNW), kembali menegaskan bahwa sikap Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina bukan sekadar pilihan politik sesaat, melainkan mandat konstitusi yang berlaku sepanjang masa. Ia mengingatkan, saat MPR menjalankan agenda reformasi dengan mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945, telah diputuskan bahwa Pembukaan UUD 1945 serta bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diganggu gugat.

Menurut Hidayat, ketentuan tersebut memastikan seluruh nilai luhur dalam Pembukaan UUD 1945 termasuk penolakan terhadap penjajahan tetap relevan dan melekat selamanya. Dengan demikian, keberpihakan Indonesia kepada perjuangan kemerdekaan Palestina dan penolakan terhadap penjajahan Israel, sebagaimana tercantum dalam alinea pertama Pembukaan UUD, tidak akan pernah berubah hingga Palestina merdeka sepenuhnya. Ia mengutip kalimat historis Pembukaan UUD:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”

Hidayat menekankan bahwa peran aktif Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia berdasarkan keadilan dan kemanusiaan juga merupakan amanat Pembukaan UUD, khususnya pada alinea keempat. Karena itu, Indonesia tidak berada di blok penjajahan, tetapi konsisten pada garis pro-kemerdekaan, termasuk ketika menyangkut Gaza dan Palestina.

Pernyataan tersebut disampaikan Hidayat Nur Wahid dalam Forum Diskusi Berbangsa dan Bernegara hasil kolaborasi MPR RI dan Lembaga Kajian Strategis Pembangunan (LKSP) di Jakarta Selatan, 19 November 2025, bertema “Peran Strategis Indonesia dalam OKI dan Perdamaian Dunia.”

Lebih lanjut, Hidayat menegaskan bahwa komitmen politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif tercermin melalui perannya dalam lahirnya Organisasi Konferensi Islam (kini Organisasi Kerja Sama Islam/OKI). Partisipasi Indonesia tersebut dinilai sebagai wujud nyata spirit Pembukaan UUD 1945. Hanya dalam waktu kurang dari satu bulan setelah pembakaran Masjid Al-Aqsa oleh Zionis Israel pada 25 Agustus 1969, sebanyak 25 negara sepakat mendirikan OKI pada 21 September 1969. Kini OKI berkembang menjadi organisasi antarnegara terbesar kedua setelah PBB dengan 57 anggota.

“OKI didirikan untuk membela Palestina dari penjajahan Israel. Saat ini anggotanya mencapai 57 negara, dan delapan di antaranya justru negara non-Muslim. Ini bukti kuat politik luar negeri bebas aktif Indonesia tidak eksklusif untuk negara berpenduduk Muslim, tetapi untuk siapa saja yang menolak penjajahan dan membela kemerdekaan Palestina,” ujar anggota DPR dari dapil Jakarta II tersebut.

Melihat situasi Palestina yang semakin memprihatinkan, Hidayat mendorong OKI bergerak lebih intens dan solid. Ia menyoroti ancaman serius bagi Masjid Al-Aqsa, mulai dari pembangunan gorong-gorong di bawah kompleks masjid yang mengancam struktur bangunan hingga upaya sekelompok anggota Kongres Amerika Serikat yang mendorong rancangan undang-undang untuk menetapkan Masjid Al-Aqsa sebagai milik bangsa Yahudi. Padahal sejak 2016, UNESCO telah menetapkan Masjid Al-Aqsa sebagai warisan budaya dunia milik umat Islam/Palestina.

“Tindakan-tindakan tersebut bertentangan dengan alasan berdirinya OKI. Karena itu, OKI harus tampil lebih kuat untuk memastikan Masjid Al-Aqsa terlindungi, perdamaian dunia terwujud, dan Palestina benar-benar merdeka,” tutup Hidayat Nur Wahid. *


Follow Mediatama Prakarsa untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel

Type above and press Enter to search.