Mediatama Prakarsa, Jakarta - Persoalan pengelolaan pendidikan keagamaan menjadi salah satu isu sentral dalam pembahasan Rancangan Perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003.
Perdebatan muncul mengenai apakah pendidikan keagamaan akan tetap berada di bawah Kementerian Agama atau dialihkan ke Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.
Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, menegaskan bahwa fokus utama seharusnya bukan pada siapa pengelolanya, melainkan pada bagaimana sistem pendidikan nasional dibangun secara utuh dan terpadu.
Menurutnya, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 3 dengan jelas menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab membentuk satu sistem pendidikan nasional.
“Karena disebut satu sistem pendidikan nasional, maka semua lembaga pendidikan, termasuk pendidikan keagamaan, seharusnya berada dalam kerangka sistem yang sama. Soal siapa penyelenggaranya bisa dibicarakan kemudian,” ujar Ledia dalam Forum Group Discussion (FGD) bertema “Sinergi Pendidikan Umum dan Keagamaan: Optimalisasi Peran Madrasah dan Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional” yang digelar Fraksi PKS DPR RI, Senin (20/10/2025).
Ledia, yang juga anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Sisdiknas, menilai paradigma penyatuan sistem pendidikan ini perlu dikukuhkan agar tidak lagi terjadi tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah.
Ia menjelaskan bahwa selama ini pendidikan keagamaan kerap dianggap sebagai urusan “agama” yang merupakan kewenangan absolut pemerintah pusat, padahal pendidikan keagamaan seharusnya menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang juga melibatkan pemerintah daerah.
Kondisi ini, lanjutnya, sering menimbulkan persoalan teknis di lapangan, seperti kendala pemberian insentif dan peningkatan kesejahteraan guru madrasah yang sering kali tertahan karena status kewenangan yang tidak jelas.
“Sering kali pemerintah daerah tidak bisa memberikan tunjangan karena dianggap bukan kewenangannya. Padahal, guru madrasah juga berperan dalam mencerdaskan anak bangsa,” tutur Ledia.
Ia juga menyoroti pentingnya penyatuan data pendidikan antara lembaga di bawah Kemenag dan Kemendikdasmen. Perbedaan sistem pendataan seperti EMIS dan Dapodik menyebabkan banyak siswa madrasah tidak terdata secara valid.
“Saya pernah menemukan kasus, seorang anak dari RA ke SD negeri, tapi datanya tidak muncul di Dapodik karena belum dilepas dari EMIS. Ini berdampak besar, bisa menghambat hak anak untuk mendapatkan NISN,” ungkapnya.
Dengan adanya kebijakan wajib belajar 13 tahun, Ledia menilai sudah saatnya pengelolaan pendidikan dasar dan menengah, termasuk madrasah, disatukan dalam sistem pendidikan nasional.
“Sistemnya harus seragam, datanya harus terpadu. Kalau tidak, akan terus terjadi ketimpangan dalam pengelolaan pendidikan,” ujarnya.
Ledia menegaskan bahwa revisi UU Sisdiknas menjadi momentum penting untuk memperkuat fondasi pendidikan nasional yang inklusif dan berkeadilan.
“Masih ada waktu untuk memperbaiki dan memperkuat rancangan undang-undang ini agar pendidikan Indonesia punya landasan yang kokoh, menyatukan semua komponen pendidikan, dan benar-benar sejalan dengan tujuan pendidikan nasional,” pungkasnya. (Fraksi PKS/Bd20) *
Follow Mediatama Prakarsa untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel
