![]() |
Tertawa di Atas Kebohongan: Sebuah Bercanda yang Membunuh Kepercayaan (Dok: Pribadi) |
"Cuma bercanda," katanya setiap kali dustanya tersingkap. Bibirnya lihai bersilat kata, menutup luka dengan tawa. Orang-orang awalnya tergelak, lalu terbiasa, hingga akhirnya tak lagi percaya.
Dalam hidup, kata-kata adalah jembatan menghubungkan hati, menuntun rasa, membangun kepercayaan. Namun ia, si penggembira dengan lidah dua sisi, telah merobohkan jembatan itu sedikit demi sedikit. Bukan dengan fitnah besar, tapi lewat lelucon yang ternyata bertaring.
Hari itu datang, seperti dalam kisah klasik: ketika air bah naik dan ketulusan sangat dibutuhkan, semua panik. Ia berteriak, meminta tolong, namun tak satu pun datang. Bukan karena tak peduli tapi karena tak yakin. Suaranya tenggelam dalam sejarah panjang kebohongan kecil yang dulu dianggap sepele.
Dan saat semua runtuh, barulah mereka sadar, bukan hanya kebenaran yang terlambat, tapi kepercayaan yang sudah mati. Sesal tak mengubah fakta, bahwa satu candaan bisa menumpulkan nurani, dan satu kebohongan kecil bisa mengikis makna dari sebuah kebenaran.
Jujur memang tak selalu mudah kadang tajam, kadang pahit. Tapi ia membangun rumah kokoh bernama kepercayaan. Sedang kebohongan, meski manis di awal, menyimpan petaka dalam diam.
"Jangan menjahati orang," bukan sekadar nasihat moral itu peringatan bagi kita semua, bahwa kadang kejahatan berwajah lucu, berbusana candaan, dan bersembunyi di balik tawa.