Mediatama Prakarsa, Jakarta - Di tengah derasnya urbanisasi dan krisis lahan yang melanda kota-kota besar Indonesia, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah, tampil membawa narasi baru: penyelesaian krisis perumahan bukan sekadar soal membangun rumah, tetapi soal mengatur tanah, memahami karakter wilayah, dan menyusun ekosistem pembangunan yang adil.
Berbicara dalam Forum International Conference on Infrastructure di Jakarta (12/6/2025), Fahri menyoroti kenyataan pahit: tanah adalah komponen terbesar dalam struktur harga rumah.
Harga tanah melonjak dari tahun ke tahun, sementara ketersediaannya terus menyusut terutama di Pulau Jawa.
“Kalau kita bisa mengatasi dua hal ini harga dan ketersediaan tanah kita bisa memangkas hingga 50% harga rumah,” ujarnya tegas.
Menurut Fahri, akar persoalan bukan pada sektor konstruksi yang dianggapnya cukup sehat dan kompetitif, melainkan pada kebijakan lahan yang belum berpihak pada kebutuhan rakyat.
Dalam pandangannya, pemerintah harus berhenti menjadi kompetitor di pasar tanah, dan bertransformasi menjadi fasilitator yang memungkinkan masyarakat mengakses hunian layak dan terjangkau.
Tiga Juta Rumah, Tiga Karakter Wilayah
Melalui program ambisius pembangunan tiga juta unit rumah masing-masing satu juta di wilayah urban, rural, dan pesisir pemerintah tidak sekadar menargetkan angka, tetapi mengedepankan pendekatan kebijakan berbasis karakter wilayah.
Di perdesaan, pendekatannya adalah renovasi.
“Mayoritas warga desa sudah punya tanah. Masalahnya ada di legalitas dan kondisi rumahnya,” ungkap Fahri.
Maka, program renovasi senilai Rp21,5 juta per unit pun disiapkan, difokuskan untuk pembelian material bangunan. Lebih dari itu, koperasi lokal didorong menjadi penyedia bahan bangunan.
"Kita membangun rumah sekaligus menghidupkan ekonomi desa," tambahnya.
Berbeda dengan desa, kawasan pesisir dipandang sebagai permata terpendam. Bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Pariwisata, pemerintah merancang hunian pesisir yang bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga bagian dari destinasi wisata.
“Bayangkan jika kita bisa mewujudkan 13.000 Maladewa baru di sepanjang garis pantai Nusantara,” ucap Fahri.
Untuk wilayah urban, tantangan terbesar adalah harga lahan. Maka, solusi yang diangkat adalah rumah susun dan budaya hidup vertikal.
“Kita tidak bisa bicara ketahanan pangan dan energi tanpa bicara pengendalian lahan. Dan hidup vertikal adalah jawabannya,” ujarnya.
Perumahan sebagai Mesin Ekonomi Nasional
Lebih dari sekadar papan, sektor perumahan menurut Fahri adalah mesin penggerak ekonomi nasional.
Dengan kebutuhan pembiayaan mencapai Rp30 triliun per tahun, sektor ini mampu menyerap jutaan tenaga kerja, menggerakkan 185 sektor industri, dan menurunkan angka kemiskinan secara langsung.
“Dari semen hingga baja, dari tukang kayu hingga arsitek, semuanya terlibat. Perumahan adalah simpul besar yang menyatukan banyak sektor ekonomi,” kata Fahri,
"Harapan bahwa krisis perumahan bisa menjadi titik balik menuju kebangkitan ekonomi Indonesia yang lebih merata dan berkeadilan," pungkasnya. (Mas Bons)
Follow Mediatama Prakarsa untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel